Minggu, 05 September 2010

HAKIKAT TASYAWUF

Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian
rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar
permasalahan itu.
Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut
berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang
India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri
demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.
Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi
para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia
ada aliran yang bernama Mani’; dan di negeri-negeri lainnya
banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.

Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling
baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta
penggunaan akal.

Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu
terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing
dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya.
Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya
berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera
ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin
Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka,
sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta
meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw.
menegurnya dengan sabdanya:
“Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk
tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul),
dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya.”
Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada
istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar
biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, “Kami amat
jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh
Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang
belum dilakukannya.”
Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan
beribadat sepanjang malam.” Sedang yang lainnya mengatakan,
“Aku tidak akan menikah.” Kemudian hal itu sampai terdengar
oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah
saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau:
“Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan
makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu;
tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan
sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak
senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk
golonganku.”
Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang
berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu
luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati
setiap bagian dalam hidup ini.
Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya
terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan
terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah
dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya
negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan
masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang
dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan
Islam).
Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam
(perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak
lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka
hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.
Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi
kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan
sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan
iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari
kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti
jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan
As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang
menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.
Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak
orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa
mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam,
yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama
di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam
rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau
mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang
lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang
dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang
halus dijadikan sumber hukum mereka.
Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya
ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh
ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang
menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an;
dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan
mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang
menulis sebuah buku yang berjudul: “Madaarijus-Saalikin ilaa
Manaazilus-Saairiin,” yang artinya “Tangga bagi Perjalanan
Menuju ke Tempat Tujuan.” Dalam buku tersebut diterangkan
mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak,
sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail
Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat
Al-Fatihah, “Iyyaaka na’budu waiyyaaka nastaiin.”
Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca
yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.
Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya
dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan
hukum-hukum dari kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang
murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta
kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada
pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan
pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan
jiwa ke tingkat yang murni.
Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan
terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh
tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui
ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama
ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk
diulang kembali, sebab masalah ini amat penting untuk
menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang di antara
orang-orang yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara
menyeluruh.
Dengan penjelasan yang lebih luas ini, sekiranya dapat
membuka tabir yang menyelimuti bagian yang cerah ini,
sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu,
misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta
pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum
Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.

Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan
dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun
akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan
masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal,
perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula.
Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan
baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang
ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya
bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam
masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.

Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya
dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu’tazilah. Ada
yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya)
atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula
orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya,
misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang
perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama
pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk
mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari
kemurkaan-Nya. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka
diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa
nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada
Allah.
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada
Allah (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi’ah Al-Adawiyah,
Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah
tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut
pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan
kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah
dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat
dengan-Nya.”
Dalam syairnya, Siti Rabi’ah Al-Adawiyah telah berkata:
“Semua orang yang menyembah Allah karena takut
akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku
tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku
cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya.”
Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan
akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru
atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling
menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham
bersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh
sufi, sehingga dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata,
“Saya adalah Tuhan.”
Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya,
sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham
Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan
para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan
rasa tanggung jawab dan beranggapan bahwa semua manusia
sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid
maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli
(kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang
bermacam-macam, ada yang menilai masalah tasawuf tersebut
secara amat fanatik dengan memuji mereka dan menganggap
semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya,
menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan
aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha,
dan lain-lainnya.
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai
berikut:
“Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang
mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan,
dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur’an, Sunnah
Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai
sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi
hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana
sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda’,
Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya.”
Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan agar mawas diri dari
godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.
Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang
diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan
Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan
mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta
hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat
Al-Qur,an:
“Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat
besar kepada Allah …” (Q.s. Al-Baqarah: 165).
“… Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya …” (Q.s. Al-Maidah: 54).
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur
(tidak tercerai-berai) …” (Q.s. Ash-Shaff: 4).
Diterangkan pula dalam Al-Qur’an dan hadis mengenai masalah
zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa,
muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam
yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam
menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta
membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi.
Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit
jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia,
mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam
peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam
melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang
murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: “Ilmu tasawuf itu,
kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan,
setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal
ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah
penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi.”
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang
sufi adalah sebagai berikut:
1. Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran
untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan
ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah.
Sehingga sebagian ada yang berkata, “Aku diberi tahu oleh
hati dari Tuhanku (Allah).”
Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah bahwa apabila
mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai
kepada Rasulullah saw.
2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum
Islam dan yang bebas dari hukumnya.
3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat
mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak
dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu
bersikap pasif, tidak aktif.
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di
dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah
menyatakan:
“… dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu
(kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia …”
(Q.s. Al-Qashash: 77).
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktekkan
dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian
dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian,
terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti
benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu
menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan
hukum-hukumnya.
Ibnul Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh
sufi, “Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin
Muhammad (297 H.), berkata, ‘Semua jalan tertutup bagi
manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.’”
Al-Junaid pun berkata:
“Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur’an dan
menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh
dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita
(tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur’an dan
As-Sunnah.”
Abu Khafs berkata:
“Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala
sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah,
serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan
wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk
golongan kaum tasawuf.”
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
“Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan
kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang
harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan
seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya.”
Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan
para sufi adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam
Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas pertanyaan, “Bagaimana
pandangan ahli agama mengenai tasawuf?”
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
“Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua,
yaitu:
Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam
mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid’ah
dan di luar Sunnah Nabi saw.
Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam
memberikan pujian dan menganggap mereka paling
baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi
saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah
bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan
pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha
orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam
kondisi yang prima di antara mereka, ada yang
cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang
ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang
terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya;
ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang
saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min
ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara
kedua sikap tadi).”
Di antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa,
melakukan tobat, ada pula yang tetap tidak bertobat. Yang
lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman
dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.
Masih banyak lagi dari ahli bid’ah dan golongan fasik yang
menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak
diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal.
Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar